STRATEGI PEMBANGUNAN ACEH BESAR BERBASIS EKONOMI KERAKYATAN
Abstract
Pada dasarnya semua pembangunan bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dibarengi dengan usaha-usaha untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dalam upaya memacu pembangunan daerah. Maka perlu dikenali berbagai tantangan, kendala dan peluang. Kendala utama masa lalu dalam pembangunan adalah efisiensi dan berkelanjutan. Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu kabupaten yang berada dalam wilayah NAD yang terletak diujung pulau Sumatera dengan luas wilayah adalah 2.974,12 km2 dibagi dalam 23 kecamatan yang terdiri dari 68 Pemukiman, 608 Desa, 18 pulau, 14 Gunung dan 83 Sungai dengan jumlah penduduk ± 302.662 jiwa. Yang terdiri dari laki-laki 155.443 dan perempuan 147.219. (Aceh Besar Dalam Angka: 2006).
Kabupaten Aceh Besar sampai dengan sekarang ini belum terjadi atau mengalami pemekaran menjadi kabupaten baru sebagaimana halnya kabupaten-kabupaten lain, namum dalam wilayah kabupaten Aceh Besar telah terjadi pemekaran kecamatan sejak tahun 1999, yaitu dari 13 kecamatan menjadi 23 kecamatan. Pemekaran kecamatan tersebut bukan dilakukan secara sewenang-wenang namun atas dasar permintaan atau aspirasi masyarakat setempat, mereka menginginkan agar daerahnya yang selama ini kurang berkembang dengan harapan menjadi lebih cepat berkembang dalam membangun begitu juga kesenjangan sosial ekonomi, antar wilayah dapat diperkecil. Pembangunan kabupaten Aceh Besar merupakan bagian penting dari pembangunan regional dan nasional yang saat ini sedang dipacu pelaksanaannya, konflik vertikal yang dialami selama ini telah menyebabkan terjadinya perubahan dalam pembangunan, potensi ekonomi yang sudah terbangun sebagian sudah hancur terutama disektor pertanian, sektor kehutanan dan perkebunan, sektor industri dan pertambangan dan sektor-sektor lainnya sehingga membawa pengaruh terhadap tingkat perekonomian masyarakat, agar hal-hal tersebut dapat diminimalkan dampaknya dalam pelaksanaan pembangunan Aceh Besar yaitu memberikan kesempatan untuk memilih berbagai alternatif tentang cara yang terbaik yang bermuatan sinergis dapat dilakukan skala prioritas, memilih urutan-urutan berdasarkan pentingnya suatu tujuan, sasaran dalam suatu program, memudahkan mengadakan pengawasan dalam evaluasi. (Aceh Besar Dalam Angka, 2006)
Dalam alam reformasi sekarang ini dan otonomi yang luas bagi daerah kinerja-kineria ekonomi dan pembangunan tidak cukup dilaporkan secara kualitatif karena mekanisme demokrasi akan memberi kesempatan yang besar bagi masyarakat untuk memantau dan mengevaluasi kinerja-kinerja pemerintah. (Riyadi dan Dedi Supriady : 2004)
Masyarakat akan menggunakan indikator-indikator yang dipublikasikan untuk publik sebagai alat untuk mengobservasi apakah suatu pemerintah berhasil, kurang berhasil, atau tidak berhasil dalam pencapaian sasaran ekonomi dan pembangunannya. Oleh karena itu, perencanaan strategi sebagai langkah awal untuk melakukan pengukuran kinerja instansi pemerintah berupaya untuk menginterprestasikan segenap keahlian SDM dan sumber daya lainnya sehingga mampu menjawab tuntutan perkembangan lingkungan stratejik Daerah, Nasional dan lokal dalam tuntutan manajemen Nasional. (AR Mustopradidjaja : 2003).
Permasalahan yang dihadapi oleh Aceh Besar sebagai berikut.
1) Laju pertumbuhan sektor pertanian relatif lebih lamban dan tertinggal dibandingkan dengan faktor industri dan manufaktur serta jasa lainnya apalagi setelah krisis ekonomi melanda negara Indonesia. Hal ini tercermin dari tingkat produktifitas dan kualitas pertanian yang masih rendah serta tingkat investasi pertanian yang masih sangat kurang di Kabupaten Aceh Besar.
2) Sistem pemasaran hasil pertanian yang masih berskala lokal dan belum mampu menembus pemasaran secara langsung untuk pasar nasional, rendahnya semangat kerja masyarakat Aceh Besar untuk menggalakkan kegiatan sektor pertanian sebagai sektor yang menampung aktifitas ekonomi masyarakat.
3) Dari berbagai jenis tanaman perkebunan yang diusahakan petani pada umumnya diusahakan secara tradisional sehingga produksi persatuan luas tanaman perkebunan sangat rendah apabila dibandingkan dengan produksi standar untuk masing-masing jenis tanaman perkebunan.
4) Perkembangan industri masih terbatas pada industri kecil dan industri rumah tangga, hal ini tidak terlepas dari krisis ekonomi yang berkepanjangan ditambah dengan ketidakpastian politik luar negeri telah membawa dampak perekonomian rakyat secara keseluruhan.
5) Perkembangan dibidang pertambangan belum begitu kelihatan hal ini disebabkan belum adanya investor asing yang mau menanamkan modalnya di Kabupaten Aceh Besar.
6) Prasarana irigasi Kabupaten Aceh Besar masih minim bila dibandingkan dengan luas baku lahan sawah (30,421 Ha) hanya sebagian yang sudah mendapat pelayanan irigasi.
7) Dampak krisis ekonomi yang berkepanjangan menyebabkan roda perkembangan sektor riel dan masyarakat mengalami kemunduran. (Aceh Besar Dalam Angka : 2006)
References
Aceh Besar dalam Angka, Bappeda Aceh Besar, 2006
AR Mustopradidjaja, Paradigma-Paradigma Pembangunan dan Saling Dukungan dengan Model, Strategi dan Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan, Lembaga Administrasi Negara, Jakarta, 2003
Brata Kusumah, Dedy Supriady dan Dadarng Solohin, Otonomi Penyelenggara Pemerintahan Daerah, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003
Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Besar, 2001, Rencana Strategik Kabupaten Aceh Besar 2001-2005, Aceh Besar.
Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom
Riyadi dan Dedi Supriady, Perencanaan Pembangunan Daerah Strategi Menggali Potensi dalam Mewujudkan Otonomi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004
Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 Tentang Melaksanakan Syariat Islam Secara Kaffah dan Membangun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah
Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah
TAP MPR RI No. XV/MPR/1998 Tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah
Refbacks
- There are currently no refbacks.