Editorial: Regulasi, Aplikasi Pemberian Air Susu Ibu Ekskluksif, dan Status Gizi Balita di Aceh

Basri Aramico

Abstract


Jumlah balita di Indonesia pada tahun 2013 sangat besar, sekitar 10% dari seluruh penduduk Indonesia merupakan penduduk dengan usia di bawah 5 tahun. Dengan jumlah yang besar, maka nasib bangsa Indonesia di masa datang juga terletak pada generasi yang sekarang ini. Sebagai calon generasi penerus bangsa, kualitas tumbuh kembang balita di Indonesia perlu mendapat perhatian serius. Dalam perkembangan anak, terdapat masa kritis di mana diperlukan rangsangan atau stimulasi yang berguna agar potensi anak dapat berkembang dengan maksimal. Sehingga hal ini perlu mendapat perhatian dan stimulasi yang memadai serta terjangkau oleh pelayanan kesehatan berkualitas termasuk deteksi dan intervensi dini penyimpangan tumbuh kembang, agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai dengan potensinya dan mampu bersaing di era global [1].

Perkembangan dan pertumbuhan balita ditentukan oleh status gizi pada awal kehidupan, bahkan sejak didalam kandungan yang dikenal sebagai 1.000 hari pertama kehidupan (HPK) yaitu masa 270 hari di dalam kandungan dan masa 730 hari setelah kelahiran (2 tahun). Upaya untuk meningkatkan status gizi balita, satu di antaranya adalah dengan memberikan Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif, yaitu pemberian ASI saja tanpa makanan tambahan lain kepada bayi sejak usia 0-6 bulan [2].

Berbagai upaya efektif untuk mendorong pemberian pemberian ASI Eksklusif terus dilakukan, termasuk dukungan Peraturan Daerah dalam berbagai regulasi (Qanun). Di level nasional, peraturan kesehatan baru telah melarang dengan tegas berbagai upaya promosi pengganti ASI di fasilitas kesehatan dan peraturan pemerintah tentang hak ibu untuk menyusui secara eksklusif selama enam bulan pertama dan terus menyusui selama dua tahun atau lebih. Upaya tersebut perlu didukung oleh seluruh pemerintah kabupaten/kota.

Pada tatanan nasional pemerintah sudah mengatur ketentuan melalui Undang- Undang (UU) dan Peraturan Pemerintah (PP) untuk mendukung pemberian ASI Eksklusif di Indonesia, tetapi pada tingkat pemerintahan daerah/kabupaten  peraturan dan perundang-undangan perlu penjabaran lebih detail sesuai dengan situasi dan kondisi kabupaten/kota. Hasil telaah setidaknya ada 17 peraturan perundang-undangan yang terkait dengan ASI Eksklusif baik secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa peraturan tersebut3 di antaranya adalah UU No. 7/1996 tentang Pangan; UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen; UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah; UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah; UU No. 36/2009 tentang Kesehatan; UU No. 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan; PP No. 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah; PP No.  33/2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif; Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 329/Menkes/Per/XII/1976 tentang Produksi dan Peredaran Makanan; Peraturan Bersama Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia, dan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 48/Men.PP/XII/2008; No. PER.27/MEN/XII/2008; dan No. 1177/Menkes/PB/XII/2008 tentang Peningkatan Pemberian Air Susu Ibu Selama Waktu Kerja di Tempat Kerja; Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 741/MENKES/PER/VII/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota; dan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 450/MENKES/SK/IV/2004 tentang Pemberian ASI Secara Eksklusif pada Bayi di Indonesia.

Selain itu menurut UU No. 36/2009 tentang Kesehatan, pada pasal 128 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap bayi berhak mendapatkan ASI Eksklusif sejak  dilahirkan selama 6 (enam) bulan. Bayi setelah 30 menit dari kelahirannya sampai 6 (enam) bulan bayi hanya diberikan air susu ibu saja tanpa makanan atau minuman lain. Setelah usia 6 bulan, anak tetap menerima pemberian ASI dengan makanan tambahan sampai anak berusia 2 tahun4. PP No. 33/2012 tentang pemberian ASI Eksklusif merupakan produk hukum dengan kekuatan hukum yang jelas, tegas dan tertulis. Dalam ketentuan peralihan disebutkan bahwa pada saat PP ini mulai berlaku, pengurus tempat kerja dan/atau penyelenggara tempat sarana umum, wajib menyesuaikan dengan ketentuan PP ini paling lama 1 (satu) tahun.

Hal ini sesuai dengan prinsip dalam agama yang tidak ingin memberatkan.  Kekuatan besar juga terdapat pada amanat PP no 33 tahun 2012 sesuai dengan perintah dalam Al-Qur’an (Q.S. [2]: 233), (Q.S. Lukman [31]: 14), (Q.S. Al-Ahqaaf [46]: 15). Meskipun tidak secara eksplisit disebutkan tentang ASI Eksklusif dalam Al-Qur’an, namun perintah kepada ibu untuk menyusukan bayinya sampai 2 tahun merupakan landasan moril, kekuatan spiritual dan nyata untuk dapat meningkatkan peran dakwah dalam Islam dalam membantu peningkatan pemberian ASI eksklusif5. Provinsi Aceh juga telah mengatur praktik pemberian ASI dalam Peraturan Daerah (Qanun), yaitu Qanun Aceh No. 04 Tahun 20106 tentang Kesehatan (Lembaran Daerah Aceh Tahun 2011 No.01).

Namun pada kenyataannya praktik pemberian ASI Eksklusif sering mengalami kegagalan karena berbagai alasan. Pertama, karena terlalu cepat memberikan makanan tambahan dan kedua karena tingginya keinginan ibu untuk memberikan susu formula. Selain itu, rendahnya pengetahuan ibu tentang ASI Eksklusif dan rendahnya dukungan untuk Inisiasi Menyusu Dini (IMD) juga berkontribusi terhadap rendahnya cakupan pemberian ASI Eksklusif. Parktek pemberian ASI Eksklusif tersebut dianggap gagal karena masih di bawah target kementerian kesehatan yaitu 80%7. Di provinsi Aceh cakupan ASI Eksklusif masih sangat rendah. Pada tahun 2015, cakupan ASI Eksklusif di Aceh baru mencapai 48.1% [8].

Rendahnya praktek pemberian ASI Eksklusif tersebut ditenggarai mempengaruhi peningkatan status gizi bayi dan balita. Berdasarkan Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, berat badan menurut umur (BB/U) secara nasional, prevalensi berat-kurang pada tahun 2013 adalah 19.6%, terdiri dari 5.7% gizi buruk dan 13.9% gizi kurang. Dari 34 provinsi di Indonesia terdapat 18 provinsi dengan angka prevalensi gizi buruk dan kurang di atas angka nasional yaitu berkisar antara 21.2% sampai 33.1% dan salah satunya adalah provinsi Aceh yang menduduki urutan ke 7 di antara 18 Provinsi di Indonesia dengan prevalensi gizi  kurang sebesar 25 [8].

Data profil kesehatan provinsi Aceh tahun 2013 dari 214.760 balita yang ditimbang berat badannya sebanyak 65.3% balita dengan gizi baik. Sedangkan Banda Aceh menunjukkan dari 14.436 balita, balita dengan gizi baik atau berat badan naik (5.8%), balita dengan gizi kurang atau bawah garis merah (BGM) atau yang mengalami gizi buruk (0.02%) [7].

Pada tahun 2016 Gubernur Aceh, Zaini Abdullah telah menetapkan Peraturan Gubernur (Pergub) Aceh No. 49 tentang Pemberian Air Susu Ibu Ekslusif pada tanggal 11 Agustus 2016. Dalam Pergub yang diundangkan tanggal 12 Agustus 2016 itu mewajibkan pemerintah Aceh dan kabupaten-kota di Aceh untuk memberikan cuti hamil dan cuti melahirkan untuk PNS dan PPPK atau tenaga honorer/kontrak, baik perempuan juga suami. Selanjutnya dalam pergub tersebut mengatur bahwa bagi pegawai perempuan yang hamil mendapat 20 hari cuti hamil sebelum waktu melahirkan, dan 6 bulan untuk cuti melahirkan guna pemberian ASI Ekslusif. Cuti juga diperoleh suami untuk mendampingi istri yaitu selama 7 hari sebelum melahirkan, dan 7 hari sesudah melahirkan [9].

Penguatan regulasi untuk mendukung praktik pemberian ASI Eksklusif terus ditetapkan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, dengan harapan cakupan pemberian ASI Ekslusif terus meningkat. Hal tersebut tentunya dalam upaya meningkatkan status gizi bayi dan balita agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, serta menjadi investasi dan generasi bangsa yang cerdas dan produkstif.


References


Kemenkes, Riset Kesehatan Dasar 2013, Kemenkes RI, Jakarta; 2014.

Rusli U., Inisiasi Menyusu Dini; Jakarta: Pustaka Bunda; 2010.

AIMI, Undang-Undang dan Peraturan tentang Menyusui; 2013.

Undang–Undang Kesehatan RI; Kesehatan, No.36 tahun 2009; 2009.

Peraturan Pemerintah RI; Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif; Nomor 33 tahun 2012; 2012.

Qanun Aceh; Kesehatan; Nomor 04 tahun 2010; 2010.

Dinkes Aceh; Profil Kesehatan Aceh 2013; Banda Aceh: Dinkes Provinsi; 2014.

Kemenkes; Riset Kesehatan Dasar tahun 2013; Jakarta: Kemenkes RI; 2014.

Risman Rachman, ‘Pergub 49: Pegawai dapat Cuti Hamil dan Melahirkan 6 Bulan’, Aceh Trend; 14 Agustus 2016. [3 November 2016].




DOI: https://doi.org/10.37598/jukema.v2i2.513

Refbacks

  • There are currently no refbacks.