FILSAFAT HUKUM KETATANEGARAAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Said Mahyiddin

Abstract


Sejarah menunjukkan bahwa agama sebagai tradisi dan kebudayaan (yang dianut umatnya) memiliki kemampuan secara multiple untuk melakukan tafsiran ulang secara terus-menerus dalam menghadapi tuntutan perubahan zaman. Agama-agama samawi seperti Judio-Kristen dan Islam dalam masa kontemporer mau tidak mau harus menjawab tantangan politik seperti halnya soal kebangsaan, kenegaraan dan demokrasi.

            Agama, sebagaimana dinyatakan banyak kalangan, dapat dipandang sebagai instrumen ilahiah untuk memahami dunia.[1] Islam, dibandingkan dengan agama-agama lain, sebenarnya merupakan agama yang paling mudah untuk menerima premis semacam ini. Alasan utamanya terletak pada ciri Islam yang paling menonjol, yaitu sifatnya yang “hadir di mana-mana” (omnipresence). Ini sebuah pandangan yang mengakui bahwa “di mana-mana” kehadiran Islam selalu memberikan “panduan moral yang benar bagi tindakan manusia.”[2]

            Dalam konteksnya yang sekarang, tidaklah terlalu mengejutkan, meskipun kadang-kadang mengkhawatirkan, bahwa dunia Islam kontemporer menyaksikan sebagian kaum Muslim yang ingin mendasarkan seluruh kerangka kehidupan sosial, ekonomi dan politik pada ajaran Islam secara eksklusif, tanpa menyadari keterbatasan-keterbatasan dan kendala-kendala yang bakal muncul dalam praktiknya. Ekspresi-ekspresinya dapat ditemukan dalam istilah-istilah simbolik yang dewasa ini popular seperti revitalisme Islam, kebangkitan Islam, revolusi Islam, atau fundamentalisme Islam.[3] Sementara ekspresi-ekspresi itu didorong oleh niat yang tulus, tidak dapat dipungkiri bahwa semuanya itu kurang dipikirkan secara matang dan pada kenyataannya lebih banyak bersifat apologetik.[4] Gagasan-gagasan pokok mereka seperti dikemukakan oleh Mohammed Arkoun, “tetap terpenjara oleh citra kedaerahan dan etnografis, terbelenggu oleh pendapat-pendapat klasik yang dirumuskan secara tidak memadai dalam bentuk slogan-slogan ideologis kontemporer.” Lebih lanjut, “artikulasi mereka masih tetap didominasi oleh kebutuhan ideologis untuk melegitimasi rezim-rezim masyarakat Islam dewasa ini.”[5]

            Adalah sebuah fenomena yang mengejutkan bahwa sejak berakhirnya kolonialisme Barat pada pertengahan abad ke-20, Negara-negara Muslim (misalnya Turki, Mesir, Sudan, Maroko, Pakistan, Malaysia, Aljazair) mengalami kesulitan dalam upaya mereka mengembangkan sintesis yang memungkinkan (viable) antara praktik dan pemikiran politik Islam dengan negara di daerah mereka masing-masing. Di negara-negara tersebut, hubungan politik antara Islam dan negara ditandai oleh ketegangan-ketegangan yang tajam, jika bukan permusuhan. Sehubungan dengan posisi Islam yang menonjol di wilayah-wilayah tersebut, yakni karena kedudukannya sebagai agama yang dianut sebagian besar penduduk, tentu saja menimbulkan tanda tanya. Kenyataan inilah yang telah menarik perhatian sejumlah pengamat politik Islam untuk mengajukan pertanyaan, apakah Islam sesuai atau tidak dengan sistem politik modern, di mana gagasan negara-bangsa merupakan salah satu unsur pokoknya.[6]

            Di Indonesia, dalam hal hubungannya politik dengan negara, sudah lama Islam mengalami jalan buntu. Baik pemerintahan Presiden Soekarno maupun Presiden Soeharto memandang partai-partai politik yang berlandaskan Islam sebagai pesaing kekuasaan yang potensial, yang dapat merobohkan landasan negara yang nasionalis. Terutama karena alasan ini, sepanjang lebih empat dekade, kedua pemerintah di atas berupaya untuk melemahkan dan “menjinakkan partai-partai Islam”. Akibatnya, tidak saja para pemimpin dan aktivis Islam politik gagal menjadikan Islam sebagai dasar ideologi dan agama negara pada 1945 (menjelang Indonesia merdeka) dan lagi pada akhir 1950-an dalam perdebatan-perdebatan di Majelis Konstituante mengenai masa depan konstitusi Indonesia), tetapi mereka juga mendapatkan diri mereka berkali-kali disebut “kelompok minoritas atau “kelompok luar”.[7] Pendek kata, seperti telah dikemukakan para pengamat lain, Islam politik telah berhasil dikalahkan–baik secara konstitusional, fisik, birokratis, lewat pemilihan umum maupun secara simbolik.[8] Yang lebih menyedihkan lagi, Islam politik seringkali menjadi sasaran ketidak-percayaan, dicurigai menentang ideologi Pancasila. Dalam soal ini cukuplah dikatakan bahwa saling curiga antara Islam dan negara berlangsung di sebuah negara yang sebagian besar penduduknya beragama Islam.

            Pertanyaan untuk persoalan di atas adalah: mengapa hal demikian yang terjadi? Faktor-faktor apa sajakah yang menyebabkan ketegangan seperti itu? Adakah jalan keluar darinya, yakni jalan penyelesaian yang mengubah hubungan politik antara Islam dan negara dari saling memusuhi dan mencurigai menjadi harmonis dan saling menguntungkan? Untuk membantu mencari jalan keluar atas persoalan tersebut, penulis akan mencoba menemukan jawabannya dengan mengkaji hubungan Islam dan negara dalam perspektif Filsafat Hukum Islam–melacak akar-akar sejarah, prinsip-prinsip ketatanegaraan, mekanisme, aturan main, tujuan dan hakikat bernegara dalam hukum Islam.

 

References


A. Syafii Maarif, Al-Qur’an Realitas Sosial dan Limbo Sejarah, Sebuah Refleksi, Bandung: Pustaka, 1995.

A. Syafii Maarif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1993.

Abdurrahmane Lhakhsasie, “Ibn Khaldun”, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver (ed.), History of Islamic Filosophy, London and New York: Routledge, 1996.

Al-Mawardi, Kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah, Beirut: Dar al-Fikr, 1966.

Andi Faisal Bakti, “The Political Thought and Communication of Ibn Khaldun,” dalam Yudian Wahyudi dkk, The Dynamics of Islamic Civilization, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998.

Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998.

Deborah L, Black, “Al-Farabi”, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver, History of Philosophy, London and New York: Routledge, 1996.

Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negara Barat,Bandung: Mizan, 1998.

Donald K. Emmerson, “Islam and Regime in Indonesia: Who’s Coopting Whom?” makalah disampaikan dalam pertemuan tahunan American Political Sceince Association, Atlanta, Georgia, 31 Agustus 1989.

Donald P. Little, “A New Look at Al-Ahkam al-Sulthaniyya”, The Muslim World, Vol. LXIV, 1974.

F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Bandung: Bina Cipta, 1980.

Fathi Osman, “Parameters of the Islamic State,” Arabia: The Islamic World Review, No. 17, Januari 1983.

Fathurrahman Djamil, “Al-Mawardi: Mekanisme Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Negara”, dalam Sudarnoto Abdul Hakim dkk, (peny.), Islam Berbagai Perspektif: Didedikasikan untuk 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, Yogyakarta: Lembaga Penterjemah dan Penulis Muslim Indonesia, 1995.

Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of Intellectual Tradition, Chicago and London: University of Chicago Press, 1982.

Fazlur Rahman, Islam, New York, Chicago, San Fransisco: Holt, Reinhart, Winston, 1966, h. 241.

Fred Halliday and Hamzah Alavi (eds.), State and Ideology in the Middle East and Pakistan, New York: Monthly Review Press, 1988.

Fuad Baali, ‘Ashabiyyah,dalam John L. Esposito (ed.), The Oxford Ensyclopedia of The Modern Islamic World, 4 Vol. New York: Oxford University Press, 1995.

Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI-Press, 1985).

Hasbi As-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993.

Hasbi as-Shiddieqy, Ilmu Kenegaraan dalam Fiqih Islam, Jakarta:, Bulan Bintang, 1991.

Ibn Khaldun, Muqaddimah , Beirut: Dar al-Fikr, t.th, h. 190-1.

Ibn Taimiyah, Al-Khilafah wa al-Mulk, Yordan: Maktabah al-Manar, 1988.

Ibn Taimiyah, As-Siyasah al-Syar’iyyah fi Islah al-Ra’I wa al-Ra’iyyah, Beirut: Dar al-Jil, 1988.

Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992.

Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, Bandung: Lathifah Press, 2004.

Klauss Ferdinand and Mehdi Mozaffari (eds.), Islam: State and Society, London: Curzon Press, 1988.

Leonard Binder, Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologis, Chicago and London: University of Chicago Press, 1988.

Leonard Binder, Religion end Politics in Pakistan, Berkeley and Los Angeles; University of California Press, 1963;

M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernism, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.

M. Amin Abdullah, The Idea of Universality of Ethical Norms in Ghazali and Kant, Ankara: Turkye Diyanet Vaktiyayin Kurulu’num, 1992.

MahmudA. Faksh, “Theories of State in Islamic Political Thought”, Journal of South Asian And Middle Eastern Studies, Vol. VI, No. 3, 1983.

Massino Campanini, “Al-Ghazali”, dalam Hossein Nasr dan Oliver (ed), History of Philosophy, London and New York: Routledge, 1996.

Masykuri Abdillah, “Gagasan dan Tradisi Bernegara dalam Islam: Sebuah Perspektif Sejarah dan Demokrasi Modern”, Tashwirul Afkar, No. 7 (2000).

Michael Hudson, “Islam and Political Development,” dalam John L. Esposito (ed.), Islam and Development, Syracuse: Syracuse University Press, 1980.

Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1989.

Mohammed Arkoun, The Concept of Authority in Islamic Thought,” Klauss Ferdinand and Mehdi Mozaffari (eds.), Islam: State and Society, London: Curzon Press, 1988.

Mohammed Ayoub (ed.), The Politics of Islamic Reassertion, London: Croom Helm, 1981. Edward Mortimer, Faith and Power: The Politics of Islam, London: Faber and Faber, 1982.

Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abdul Muti’, al-Fikr al-Siyasi fi al-Islam: Syakhsiyat wa Mazahib, Kairo: Dar al-Jam’iyyat, 1978.

Mulyadhi Kartanegara, Mozaik Khazanah Islam: Bunga Rampai dari Chicago, Jakarta: Paramadina, 2000.

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1993).

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1993).

Musnad Ibn Hanbal, Jil. 4

Nazih Ayubi, Political Islam: Religion and Politics in the Arab World, London and New York: Routledge, 1991.

Nurcholish Madjid, “Menyegarkan Paham Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia”, dalam Muhammad Kamal Hassan, Modernisasi Indonesia: Respon Cendekiawan Muslim, terj. Ahmadie Thaha, Jakarta: Lingkaran Studi Indonesia, 1987.

Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan: Artikulasi NilaiIslam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer, Jakarta: Paramadina, 1998.

Olaf Schumann, Dilema Islam Kontemporer Antara Masyarakat Madani dan Negara Islam, Paramadina, Vol.I, No. 2, 1999.

Qamaruddin Khan, al-Mawardi’s Theory of The State, (Lahore: tanpa tahun), hlm. 1.

R. Hrair Dekmejian, Islam in Revolution: Fundamentalism in the Arab World, Sycracuse University Press, 1985.

Robert M. Maclver, The Modern State, London: Oxford University, 1980.

Robert N. Bellah, “Islamic Tradition and the Problem of Modernization,” dalam Robert N. Bellah, Beyond Belief: Essays on Religion in a Post-Tradisionalist World, Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1991.

Ruth McVey, “Faith as the Outsider: Islam in Indonesian Politics,” James Piscatori (ed.), Islam in the Political Proceess.

Sanad Ibn Majah, Jil. I.

Sri Mulyati, “The Theory of State of Al-Mawardi”, dalam Sri Mulyati, dkk., Islam and Development A Politico-Religious Response, Yogyakarta: Titian Ilahi Press,PERMIKA Montreal, LPMI, 1997.

Syamsul Anwar, “Al-Mawardi dan Teorinya tentang Khilafah,” Al-Jami’ah, no. 35, 1987.

Thoha Hamim, Paham Keagamaan Kaum Reformis, terj. Imran Rosyidi, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989.

W.F. Wertheim, “Indonesian Moslems Under Sukarno dan Suharto: Majority with Minority Mentality,” Studies on Indonesian Islam, Townsville: Occasional Paper No. 19, Centre for Southeast Asian Studies, James Cook University of North Queensland, 1986.


Refbacks

  • There are currently no refbacks.