JANGAN STRESS SAAT HAMIL, JUGA JANGAN STRESS JIKA ANAK MENGALAMI AUTISM

Marthoenis, Marthoenis

Abstract


Sepasang suami istri yang tinggal disebuah kota di Indonesia begitu bahagia dengan lahirnya anak pertama mereka. Setelah lebih dari lima tahun menikah, sang istri akhirnya bisa hamil. Kehamillanya juga berlangsung normal, meski kadang si Istri merasa stress karena kesibukan di tempat kerja, dan juga cemas dengan kehamilan pertamanya tersebut. Meski begitu, hingga hari kelahiran si buah hati, tak ada masalah yang berarti yang harus dihadapi pasangan muda ini. Setelah si bayi lahir, si ibu memilih untuk resign dari pekerjaan, demi bisa memberikan perhatian yang lebih ke anak semata wayangnya. Sedangkan suaminya tetap bekerja sebagaimana biasanya.
Tubuh atau fisik si anak tumbuh normal seperti anak-anak lainnya. Kecemasan mulai muncul sejak si anak berusia dua tahun. Berbeda dengan anak seusia yang sangat ineraktif dengan orang disekitar, anak mereka sepertinya kurang respon saat diajak berkomunikasi. Si anak tampak seperti memiliki dunia sendiri dan kurang interaktif ketika namanya dipanggilkan. Orang tua yang kebetulan berpendidikan tinggi kemudian berkonsultasi tentang keadaan anaknya ke dokter. Setelah mendapatkan penjelasan mengenai masalah yang dialami anaknya, pasangan ini bertambah bingung dan stress dengan diagnosa yang diberikan, Autism.
Autism merupakan suatu gangguan perkembangan yang ditandai dengan kesusahan untuk berkomunikasi dan interaksi sosial. Secara global ada sekitar 35 juta anak yang menderita Autism pada tahun 2011. Di Indonesia sendiri, Kemenkes RI mengestimasi sekitar 112.000 anak dengan gangguan ini. Meski penelitian sudah lama dilakukan, penyebab pasti Autism belum diketahui. Beberapa teori mengaitkan dengan masalah biologis, termasuk kedalamnya masalah genetik dan perinatal, dan teori psikososial. Riset juga menunjukkan bahwa paparan terhadap polusi udara selama kehamilan juga meningkatkan resiko terjadinya autism pada anak yang dilahirkan. Stress yang dialami oleh ibu saat hamil juga berhubungan dengan Autism. Sedangkan vaksin MMR yang dianggap sebagai penyebab autism pada anak sama sekali tidak terbukti secara klinis.
Sama seperti anak yang mengalami gangguan perkembangan lainnya, anak-anak dengan autism memiliki tingkat perawatan kesehatan yang tidak terpenuhi (unmet healthcare need) yang lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat umum. Karena itu, ada beberapa strategi yang direkomendasikan untuk mengatasi ketidaksetaraan dalam memperoleh pelayanan, termasuk diantaranya adalah: menyediakan materi pendidikan kesehatan yang mudah dijangkau oleh orang tua, memberdayakan orang tua dan anak-anak yang mengalami masalah perkembangan, dan meningkatkan pengetahuan serta mengubah sikap pemberi pelayanan kesehatan.

Penelitian berkaitan dengan Autism dan gangguan perkembangan lainnya harus berfokus pada atau mampu memberikan bukti yang lebih baik tentang paket perawatan yang efektif dan sesuai bagi penderita dan keluarga, bisa menemukan model pelayanan anak-anak autism dengan sumber daya yang terbatas, bisa melibatkan masyarakat luas untuk peduli tentang austim dan yang paling penting, bisa mengubah kebijakan sebuah negara untuk lebih memperhatikan penderita Autism dan gangguan perkembangan lainnya.
Terakhir, penatalaksanaan anak dengan Autism difokuskan pada penanganan stress yang dialami keluarga khususnya orang tua, meningkatkan kualitas hidup anak, dan mengurangi ketergantungan. Secara umum, anak yang IQ tinggi cenderung memiliki prognosa yang lebih baik atau memiliki hasil penatalakanaan yang baik pula. Tidak ada satu pendekatan treatment yang paling baik untuk menangai anak dengan Autism. Tetapi, edukasi terhadap keluarga merupakan salah satu kunci untuk mencapai tujuan dari penatalaksanaan anak dengan autism.


Full Text:

PDF


DOI: https://doi.org/10.37598/jukema.v5i1.698

Refbacks

  • There are currently no refbacks.